Apa Saja Perbedaan Pandangan Ulama Tentang Tahlilan? – Berikut bebarapa pandangan ulama yang berbeda dalam menyikapi hukum tahlilan ada yang membolehkan dan ada juga mengharamkan dan membid’ahkan dan ini penjelasan ya beberapa ulama yang membolehkan dan mengharamkan silahkan dan kita sebagai umat muslim dapat mengambil dan menyikapi beberapa perbedaan ulama dalam pandanganya tentang tahlilan
Tahlilan (Selamatan Kematian) Adalah Bid’ah Munkar
TAHLILAN (SELAMATAN KEMATIAN ) ADALAH BID’AH MUNKAR DENGAN IJMA’ PARA SHAHABAT DAN SELURUH ULAMA ISLAM
Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
عَنْ جَرِيْربْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ : كُنَّا نَرَى (وفِى رِوَايَةٍ : كُنَا نَعُدُّ) اْلاِجْتِمَاع اِلَى أَهلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ (بَعْدَ دَفْنِهِ) مِنَ الْنِّيَاحَةِ
“Dari Jarir bin Abdullah Al Bajaliy, ia berkata : ” Kami (yakni para shahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut madzhab kami para shahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini atau atsar di atas dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (No. 1612 dan ini adalah lafadzhnya) dan Imam Ahmad di musnadnya (2/204 dan riwayat yang kedua bersama tambahannya keduanya adalah dari riwayat beliau), dari jalan Ismail bin Abi Khalid dari Qais bin Abi Hazim dari Jarir sebagaimana tersebut di atas.
Saya berkata : Sanad Hadits ini shahih dan rawi-rawinya semuanya tsiqat (dapat dipercaya ) atas syarat Bukhari dan Muslim.
Dan hadits atau atsar ini telah dishahihkan oleh jama’ah para Ulama yakni para Ulama Islam telah ijma/sepakat tentang hadits atau atsar di atas dalam beberapa hal.
1. Mereka ijma’ atas keshahihan hadits tersebut dan tidak ada seorang pun Ulama -sepanjang yang diketahui penulis- wallahu a’lam yang mendloifkan hadits ini. Dan ini disebabkan seluruh rawi yang ada di sanad hadits ini –sebagaimana saya katakan dimuka- tsiqoh dan termasuk rawi-rawi yang dipakai oleh Imam Bukhari dan Muslim.
2. Mereka ijma’ dalam menerima hadits atau atsar dari ijma’ para shahabat yang diterangkan oleh Jarir bin Abdullah. Yakni tidak ada seorangpun Ulama yang menolak atsar ini. Yang saya maksud dengan penerimaan (qobul) para Ulama ini ialah mereka menetapkan adanya ijma’ para shahabat dalam masalah ini dan tidak ada seorangpun di antara mereka yang menyalahinya.
3. Mereka ijma’ dalam mengamalkan hadits atau atsar diatas. Mereka dari zaman shahabat sampai zaman kita sekarang ini senantiasa melarang dan mengharamkan apa yang telah di ijma’kan oleh para shahabat yaitu berkumpul-kumpul ditempat atau rumah ahli mayit yang biasa kita kenal di negeri kita ini dengan nama ” Selamatan Kematian atau Tahlilan”.
LUGHOTUL HADITS
1. كُنَا نَعُدُّ / كُنَّا نَرَى = Kami memandang/menganggap.
Maknanya : Menurut madzhab kami para shahabat semuanya bahwa berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit dan membuatkan makanan termasuk dari bagian meratap.
Ini menunjukkan telah terjadi ijma’/kesepakatan para shahabat dalam masalah ini. Sedangkan ijma’ para shahabat menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan Sunnah dengan kesepakatan para Ulama Islam seluruhnya.
2. اْلاِجْتِمَاع اِلَى أَهلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ = Berkumpul-kumpul di tempat atau di rumah ahli mayit dan membuatkan makanan yang kemudian mereka makan bersama-sama
3. بَعْدَ دَفْنِهِi = Sesudah mayit itu ditanam/dikubur. Lafadz ini adalah tambahan dari riwayat Imam Ahmad.
Keterangan di atas tidak menunjukkan bolehnya makan-makan di rumah ahli mayit “sebelum dikubur”!?. Akan tetapi yang dimaksud ialah ingin menjelaskan kebiasaan yang terjadi mereka makan-makan di rumah ahli mayit sesudah mayit itu dikubur.
4. مِنَ الْنِّيَاحَةِ = Termasuk dari meratapi mayit
Ini menunjukkan bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit atau yang kita kenal di sini dengan nama “selamatan kematian/tahlilan” adalah hukumnya haram berdasarkan madzhab dan ijma’ para sahabat karena mereka telah memasukkan ke dalam bagian meratap sedangkan merapat adalah dosa besar.
SYARAH HADITS
Hadits ini atau atsar di atas memberikan hukum dan pelajaran yang tinggi kepada kita bahwa : Berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan makan-makan di situ (ini yang biasa terjadi) termasuk bid’ah munkar (haram hukumnya). Dan akan bertambah lagi bid’ahnya apabila di situ diadakan upacara yang biasa kita kenal di sini dengan nama “selamatan kematian/tahlilan pada hari pertama dan seterusnya”.
Hukum diatas berdasarkan ijma’ para shahabat yang telah memasukkan perbuatan tersebut kedalam bagian meratap. Sedangkan meratapi mayit hukumnya haram (dosa) bahkan dosa besar dan termasuk salah satu adat jahiliyyah.
Fatwa Ijma’ Ulama Tentang Ulama
Apabil para shahabat telah ijma’ tentang sesuatu masalah seperti masalah yang sedang kita bahas ini, maka para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in dan termasuk di dalamnya Imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’iy dan Ahmad) dan seluruh Ulama Islam dari zaman ke zamanpun mengikuti ijma’nya para sahabat yaitu berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan makan-makan di situ adalah haram dan termasuk dari adat/kebiasaan jahiliyyah.
Pertama : Bahwa berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit hukumnya adalah BID’AH dengan kesepakatan para Shahabat dan seluruh imam dan ulama’ termasuk didalamnya imam empat.
Kedua : Akan bertambah bid’ahnya apabila ahli mayit membuatkan makanan untuk para penta’ziyah.
Ketiga : Akan lebih bertambah lagi bid’ahnya apabila disitu diadakan tahlilan pada hari pertama dan seterusnya.
Keempat : Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut SUNNAH NABI Shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum kerabat /sanak famili dan para jiran/tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka untuk mereka makan sehari semalam. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Ja’far bin Abi Thalib wafat.
“Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far ! Karena sesungguhnya telah datang kepada mereka apa yang menyibukakan mereka (yakni musibah kematian).” [Hadits Shahih, riwayat Imam Asy Syafi’i ( I/317), Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad (I/205)]
Hal inilah yang disukai oleh para ulama kita seperti Syafi’iy dan lain-lain (bacalah keterangan mereka di kitab-kitab yang kami turunkan di atas).
Berkata Imam Syafi’iy : “Aku menyukai bagi para tetangga mayit dan sanak familinya membuat makanan untuk ahli mayit pada hari kematiannya dan malam harinya yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka, karena sesungguhnya yang demikian adalah (mengikuti) SUNNAH (Nabi)…. “ [Al-Um I/317]
Dan ini adalah ulama yang memperbolehkan tahlilan
Secara bahasa tahlilan berakar dari kata hallala (هَلَّلَ) yuhallilu ( يُهَلِّلُ ) tahlilan ( تَهْلِيْلاً ) artinya adalah membaca “Laila illallah.” Istilah ini kemudian merujuk pada sebuah tradisi membaca kalimat dan doa- doa tertentu yang diambil dari ayat al- Qur’an, dengan harapan pahalanya dihadiahkan untuk orang yang meninggal dunia.
Biasanya tahlilan dilakukan selama 7 hari dari meninggalnya seseorang, kemudian hari ke 40, 100, dan pada hari ke 1000 nya. Begitu juga tahlilan sering dilakukan secara rutin pada malam jum’at dan malam-malam tertentu lainnya.
Bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang dihadiahkan untuk mayit menurut pendapat mayoritas ulama’ boleh dan pahalanya bisa sampai kepada mayit tersebut. Berdasarkan beberapa dalil, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
Dari sahabat Ma’qal bin Yasar r.a. bahwa Rasulallah s.a.w. bersabda : surat Yasin adalah pokok dari al-Qur’an, tidak dibaca oleh seseorang yang mengharap ridha Allah kecuali diampuni dosadosanya.
Bacakanlah surat Yasin kepada orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian. (H.R. Abu Dawud, dll) Adapun beberapa ulama juga berpendapat seperti Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa ini adalah bid’ah hasanah